Masa Kecil Kita Memang Berbeda



Sewaktu libur kerja saya biasa pulang ke kampung halaman, baik untuk sekedar beristirahat ataupun bertemu Ibu dan nenek yang ada di rumah. Dengan pulang saya juga kembali teringat momen ketika masih anak-anak.


Di dekat rumah kadangkala saya berjumpa dengan anak-anak usia 7 - 10 tahun yang sedang bermain game. Mereka akan memainkan game tembak-tembakan seperti free fire dan PUBG. Kalau bosan mereka akan berpindah genre ke mobile legend.


Anabule . . . . .

Anjing. . . . . . 


Kata-kata yang sering dikeluarkan bocah itu karena karakter dalam gamenya tertembak atau timnya kalah dalam permainan. Umpatan itu seakan-seakan menjadi sumpah serapah yang wajib untuk dikeluarkan ketika kesal.


Di sela-sela istirahat sejenak bermain game biasanya mereka akan membuka aplikasi tik tok dan menonton video. Dengan banyaknya gadis-gadis yang bergoyang di aplikasi tersebut, berselancar dengan gawai semakin menarik perhatian mereka.


Aktivitas bermain smartphone membuat mereka suka lupa waktu. Kadang kalau sedang asik mereka bisa bermain dari pagi hingga malam hari. Adapun pulang kerumah hanya untuk mengisi perut saja.


Hal seperti itu akan dilakukan hampir setiap hari karena libur panjang sekolah akibat Covid-19. “loh bukannya seharusnya mereka sekolah online ya kalau pagi hari”


Metode belajar saat pandemi covid-19 berbeda-beda di setiap daerah. Seperti di kampung saya anak Sekolah Dasar (SD) hanya perlu pergi ke sekolah seminggu sekali mengambil soal untuk diselesaikan di rumah mereka masing-masing. Itupun semua mata pelajaran memberikan soal di hari yang sama.


Mungkin akan jauh berbeda dengan sekolah yang ada di kota-kota atau daerah lainnya. Anak-anak di pagi hari akan sekolah daring. Entah itu menggunakan aplikasi zoom, google meet dan whatsapp. Orang tuanya juga akan membimbing anaknya secara langsung untuk menggunakan media tersebut.


Disini peran sekolah dan orang tua untuk beradaptasi masih sangat minim. Sering dijumpai masih banyak guru-guru yang tidak menguasai teknologi untuk belajar daring. Lebih mirisnya lagi sebagian orang tua beralasan tidak punya waktu lagi untuk mengajar anaknya dirumah. Karena harus mencari rupiah untuk sekedar hidup esok hari. Itulah alasan kenapa disini mudah sekali menemukan anak-anak kelas tiga sampai lima Sekolah Dasar yang belum mampu mengenal huruf dan membaca sama sekali. 


Apabila mengingat kembali dahulu sewaktu saya kecil di kampung halaman tentu berbeda dengan saat ini. Kala itu memang smartphone belum ada di tangan bocah seperti kami. Apalagi kejadian pandemi covid-19 seperti sekarang ini.


Sewaktu SD saya semangat pergi sekolah juga bukan karena mau menuntut ilmu. Tapi bagi kami bersekolah adalah tentang bermain entah itu bermain bola, kelereng, dan lari-larian. Sehingga menjadikan sekolah tempat yang begitu asyik untuk melakukan berbagai hal.


Sampai di rumah kita akan istirahat sejenak. Kemudian di sore harinya kita akan melanjutkan lagi dengan berbagai macam aktivitas. Seperti mencari buah-buahan di halaman kebun tetangga, berenang ke sungai yang arusnya deras dan memancing ikan. 


Pada prinsipnya anak-anak adalah subjek yang mudah merasa bosan dan jenuh. Lingkungan tempat tinggal dan keluarga adalah arena untuk mengatasi hal tersebut. Sehingga dahulu rasa bosan kita akan dilampiaskan dengan berbagai macam aktivitas, bukan dengan smartphone karena memang kita tidak memilikinya.


Saat ini rasa bosan sangat mudah untuk kita atasi, smartphone menawarkan banyak  hal yang kita bisa lakukan disana seperti bermain game dan menonton youtube. Karena hal tersebut interaksi anak dengan lingkungannya menjadi sangat minim.


Saya bersyukur sewaktu kecil smartphone belum marak seperti sekarang ini sehingga saya memilih untuk melampiaskan rasa bosan itu dengan banyak bermain dan mengeksplorasi berbagai hal yang tanpa sadar membentuk kemampuan sosialisasi kita terhadap lingkungan dan alam sekitar.


Saya juga mendapatkan privilege orang tua yang mengerti artinya pendidikan buat saya pada saat itu. Walaupun saya tahu kami dari keluarga yang pas-pasan. tetapi semangat orang tua untuk menyekolahkan saya tidaklah pupus hingga ke perguruan tinggi.


Masa kecil kita memang berbeda, tetapi kita tidak akan pernah benar-benar tahu generasi manakah yang justru bisa membawa Indonesia menjadi negara yang yang tangguh dan adidaya. Apakah generasi saat ini ataukah generasi 20 tahun yang akan datang. Karena setiap zaman berbeda maka tantangannya akan berbeda pula.


Dari hal tersebut kita harus tetap optimis bahwa INDONESIA akan jauh lebih baik dari sekarang ini. Kita juga harus yakin bahwa anak-anak dan pemuda saat ini adalah bibit yang akan menggantikan para pemimpin negeri. Sehingga pendidikan bagi anak adalah pondasi untuk kemajuan bangsa Indonesia.


Sumber gambar : Hipwee


Comments

Popular posts from this blog

Women Empowerment Project

Sales Engineer, Peluang dan tantangan.

Dangko Indahkan Ramadhan ( DINAR) 2018